Karl Marx dan Perjalanan Akhir Sang Pemikir Revolusi: Warisan yang Tak Pernah Padam

Pada tanggal 14 Maret 1883, dunia kehilangan sosok yang pemikirannya kelak mengubah jalannya sejarah, Karl Marx. Filsuf, ekonom, dan revolusioner asal Jerman ini menghembuskan napas terakhirnya di London dalam usia 64 tahun, meninggalkan gagasan yang terus diperbincangkan hingga hari ini. Meski di masanya banyak ditolak dan diasingkan, pemikirannya kemudian menjadi pondasi bagi berbagai gerakan sosial dan politik, dari revolusi pekerja hingga berdirinya negara-negara komunis di abad ke-20.

Karl Marx lahir pada 5 Mei 1818 di Trier, Jerman, dalam keluarga kelas menengah. Sejak muda, ia tertarik pada filsafat dan sosial-politik, terutama setelah mendalami pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Ia mulai mengembangkan gagasan bahwa sejarah manusia adalah perjuangan kelas, di mana kelompok penguasa (borjuis) terus menindas kaum pekerja (proletar).

Bersama sahabat sekaligus rekan intelektualnya, Friedrich Engels, Marx menulis beberapa karya yang menjadi dasar ideologi sosialisme dan komunisme. Salah satu yang paling terkenal adalah “The Communist Manifesto” (1848), di mana ia menyerukan persatuan kelas pekerja untuk menggulingkan sistem kapitalis dan menciptakan masyarakat tanpa kelas. Karya ini kemudian menjadi teks fundamental dalam berbagai gerakan buruh dan revolusi di berbagai negara.

Namun, kehidupan Marx tidak pernah mudah. Karena gagasan radikalnya, ia sering diusir dari satu negara ke negara lain—dari Jerman, Prancis, hingga akhirnya menetap di Inggris. Di London, ia hidup dalam kemiskinan bersama keluarganya, bertahan hidup dengan bantuan finansial dari Engels. Meski dalam kondisi sulit, Marx tetap menulis dan meneliti, hingga akhirnya lahirlah karya terbesarnya, “Das Kapital”, yang berisi analisis mendalam tentang kapitalisme dan dampaknya terhadap kelas pekerja.

Di penghujung hidupnya, kesehatan Marx semakin memburuk. Ia kehilangan istrinya, Jenny von Westphalen, pada Desember 1881, yang membuatnya semakin terpuruk secara emosional. Tak lama setelahnya, putri kesayangannya, Eleanor Marx, juga meninggal dunia. Kehilangan ini memperburuk kondisi fisiknya, hingga akhirnya pada 14 Maret 1883, Karl Marx meninggal dalam kesunyian di rumahnya di London.

Pemakamannya di Highgate Cemetery hanya dihadiri segelintir orang, tetapi salah satu di antaranya, Friedrich Engels, memberikan penghormatan terakhir yang sangat berarti. Dalam pidatonya, Engels berkata: “Pada tanggal 14 Maret, pada pukul tiga kurang seperempat, pemikir besar ini berhenti berpikir. Nama Marx akan bertahan sepanjang sejarah, dan karyanya akan terus menginspirasi kaum pekerja di seluruh dunia.”

Meski di masanya Marx dianggap sebagai pemikir radikal dan sering ditolak, pemikirannya justru semakin berpengaruh setelah kematiannya. Di awal abad ke-20, gagasannya tentang sosialisme dan komunisme menjadi dasar bagi berbagai gerakan revolusioner, termasuk Revolusi Rusia 1917, yang melahirkan Uni Soviet.

Bahkan di era modern, ide-ide Marx masih menjadi bahan perdebatan dalam ekonomi, filsafat, dan politik. Konsep tentang eksploitasi tenaga kerja, ketimpangan sosial, dan kritik terhadap kapitalisme tetap relevan dalam berbagai diskusi global.

Karl Marx mungkin telah tiada, tetapi gagasan yang ia rintis tetap hidup, menginspirasi berbagai gerakan sosial dan mengubah cara kita memahami dunia. Dari kaum intelektual hingga para buruh di seluruh dunia, nama Marx terus disebut, membuktikan bahwa pemikiran seseorang dapat bertahan jauh melampaui kehidupannya sendiri.

Scroll to Top