8 Februari 1958 menjadi salah satu momen penting dalam sejarah Indonesia ketika Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dideklarasikan di Padang, Sumatra Barat. Pemberontakan ini dipimpin oleh tokoh-tokoh militer dan sipil yang kecewa dengan kebijakan pemerintahan pusat di bawah Presiden Soekarno
Latar Belakang Pemberontakan
Sejak awal kemerdekaan, Indonesia menghadapi berbagai tantangan, termasuk ketimpangan pembangunan antara pusat (Jakarta) dan daerah. Wilayah-wilayah seperti Sumatra dan Sulawesi, yang kaya akan sumber daya alam, merasa bahwa pemerintah pusat kurang memperhatikan mereka.
Pada 1956, muncul ketegangan antara daerah dan pusat, terutama setelah beberapa panglima militer daerah seperti Kolonel Ahmad Husein (Sumatra Barat) dan Kolonel Ventje Sumual (Sulawesi Utara) mulai menunjukkan sikap tidak puas terhadap kebijakan ekonomi dan politik pemerintah pusat.
Kekecewaan ini memuncak ketika Dewan Banteng di Sumatra Barat, Dewan Gajah di Sumatra Utara, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara menuntut reformasi pemerintahan. Namun, pemerintah pusat menganggap gerakan ini sebagai ancaman terhadap keutuhan negara.
Deklarasi PRRI
Pada 8 Februari 1958, Syafruddin Prawiranegara—mantan Menteri Keuangan RI—mendeklarasikan PRRI sebagai pemerintahan tandingan di Padang. Beberapa tokoh militer seperti Kolonel Ahmad Husein dan Kolonel Simbolon juga ikut serta dalam gerakan ini.
PRRI menuduh pemerintah pusat korup dan tidak adil terhadap daerah. Mereka juga menuntut perubahan dalam sistem pemerintahan agar lebih demokratis dan desentralistik.
Tindakan Pemerintah Pusat
Presiden Soekarno merespons deklarasi ini dengan operasi militer yang dikenal sebagai Operasi 17 Agustus, dipimpin oleh Mayor Jenderal Ahmad Yani. Pemerintah pusat juga melibatkan Angkatan Udara dengan melakukan serangan udara terhadap basis PRRI.
Dalam waktu beberapa bulan, pasukan pemerintah berhasil merebut kembali daerah-daerah yang dikuasai PRRI. Pada April 1958, Kota Padang dan Bukittinggi kembali kembali dikuasai oleh tentara pemerintah. Sementara itu, para pemimpin PRRI mulai melarikan diri atau menyerah.
Akhir Pemberontakan
Pada 1961, PRRI resmi berakhir setelah banyak tokohnya menyerah dan diberikan amnesti oleh pemerintah. Beberapa pemimpin, termasuk Syafruddin Prawiranegara, kemudian kembali berkontribusi dalam pemerintahan.
Pemberontakan PRRI menjadi salah satu contoh bagaimana ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pusat bisa berkembang menjadi konflik bersenjata. Meskipun akhirnya dikalahkan, peristiwa ini menunjukkan pentingnya pemerataan pembangunan dan perhatian terhadap aspirasi daerah dalam menjaga keutuhan negara.